Bumantara

Sukabumi sedang menuju senja ketika kau memutuskan pamit. Kau seumpama bintang ditelan langit yang hitam pegam namun itulah caramu bersinar agar mampu ku pandang. Aku mungkin bisa saja mendaduk agar kau pulang pada pelukan. Nahasnya, rinduku tak pernah mampu kau dengar, rinduku tak pernah mengetuk dadamu, rinduku tak pernah menjadi pusat semestamu. Ia hanya mampu sampai pada depan pintu indekosmu atau menggantung bersama baju dibelakang pintu kamarmu.

Aku mengikhlas segala kekeliruan perihal kepergian dan kepulangan. Aku harap kau bisa kembali membumi di bijana merangkai kembali cerita yang telah usai lalu mulai lagi menaruhku paling dalam di dada. Menjadikanku alasan untuk pulang. Memberi hadiah dihari ulang tahunmu. Mengucapkan rindu tanpa dibatasi. Memberimu semangat tanpa henti ketika kamu lelah dalam rutinitasmu. Mengajakmu ke tempat-tempat yang jauh dari ingar bingar kepadatan kota. Memberimu saran ketika kamu dilanda dua pilihan atau lebih. Dan juga menjadi orang yang terluka ketika kamu merasakan luka. Semampang keinginanku malah menjadi pengecualian. Tolong! Usah kasihan melihatku, usah khawatir tentang kewarasanku, usah peduli pada sedu sedan ku.
Kau adalah geosentris menurut egosentris ku. Mungkin kau mafhum mengatasi rindu namun kau tetap akan gelayuran perihal kenangan. Sepertiku, semenjak kau mengangkat kaki dari lubang hati.

Ada berair juga rupanya kau menjadikanku akhtaj dengan bibirmu yang bergetah. Nyatanya, kau malah mengabolisikan ku dalam ingatan. Pernahkan kenangan berjujai menghantam pikiranmu? Mencekik hingga kau terisak-isak. Beritahu aku, seumpama apa warna kenangan? Manisnya bagai langit yang kebam atau pahitnya bagai langit yang kelam?

Betapa pilunya ketika aku harus mengapikkan kenangan tentangmu. Tentang lengkungan senyummu, caramu berjalan, tawamu yang tak pernah berhenti berkeliaran di penghujung malam, juga matamu yang mudah membulat dan keningmu yang luas. Kenangan adalah sintesis dari rindu dan patahan. Semakin aku merasa patah, rindu membentuk menjadi jutaan kenangan yang sulit dibunuh. Bak rindu yang menusuk menjadi sesuatu yang membusuk. Begitu saja, tanpa adanya jenguk-menjenguk.

Kita mungkin saja keliru atas keputusan ini. Bisa saja karena kita sama-sama egois berimbas pada hubungan kita yang kandas. Aku memang mengamini satu hal, luka yang terperuak akan jauh lebih nyata dibanding harus terus berspekulasi tentang segala hal yang bersifat nalar. Mungkin aku yang terlalu banyak menyimpan mu dibanding dirimu. Maka, hanya aku yang merasakan luka. Hanya aku yang terbelit kenangan. Hanya aku yang merindu.

Kesempatan memang tidak menjamin segalanya. Maaf, rindu ini yang semakin tumbuh semakin rondah-randih. Aku tidak mahir membuatnya tergeletak dilantai kamar atau di sudut tempat tidur.

Ingatkah kau saat pertikaian membelenggu kita? Bukankah seharusnya kita mampu mengalahkan ego kita? Caci maki dan hinaan keluar dari mulut kita. Hari itu kita bukanlah kita. Kita bukanlah dua orang yang saling menunggu pertemuan, kita bukanlah dua orang yang saling menanti kabar, kita bukanlah dua orang yang saling menyayang. Ego memenangkan segalanya, mengalahkan rindu, mengalahkan canda, mengalahkan sesuatu yang pernah kita anggap sama. Kini, bukan lagi waktunya menyalahkan ego. Berpisah atau terpisah adalah jawaban untuk kita.

Jika nanti kau bersanding dengan yang lain. Perempuan yang mampu sesabar ibumu, perempuan yang rela meredam amarahnya demi melihatmu menang, perempuan yang dengan tidak mampu melawan kata-kata kasarmu. Tolong! Jaga perempuan itu. Kau takkan menemukan aku lagi di tubuh orang lain. Begitu pun sebaliknya. Ingat! Aku pernah bersusah payah menjaga apa yang kita pertaruhkan namun berakhir kesalahpahaman. Aku yang pernah menunggumu menahan rindu mati-matian demi bersua denganmu. Aku yang pernah di hina habis-habisan oleh perempuan yang pernah mencintaimu tanpa tulus. Dan ini, aku, yang rela mengikhlaskanmu membumi di sana tanpa kabar mungkin sudah menemukan penggantiku yang tidak semanja aku.

Semoga hati perempuan itu setulus aku dan takkan meninggalkanmu ketika ujian tuhan datang untuk memperkuat imanmu. Aku mungkin bukan satu-satunya perempuan yang mendoakanmu dengan tangan yang menengadah ke langit, namun percayalah semesta hanya mengamini doa yang tulus. Aku juga bukan perempuan yang sama taatnya seperti perempuan-perempuan di luar sana. Perihal doa antara pencipta dan yang tercipta aku tidak pernah main-main.

Andai saja kau mau memberiku sedikit ruang sekali lagi. Aku mampu bersaing mengalahkan egoku.

Comments

Popular posts from this blog

Nawala Patra

Keras Kepala

Niskala