Jarak mu

Manusia adalah setumpukan racun. Racun yang paling bersarang dalam pikirannya adalah waktu. Terpaku pada apa yang sudah berlalu. Hingga akhirnya rela menghempaskan diri sedalam-dalamnya pada masa lalu. Pun tidak pernah terpikir oleh manusia untuk berjerempak dengan seorang yang tidak baru, begitu pun aku.

        Kamu tiba-tiba saja datang kembali bersama selusin maaf. Aku terpaku oleh sapaanmu yang begitu dahsyat. Kamu memang pandai memikat –entah aku yang mudah terpikat– hingga aku tak punya pilihan lain selain melabuhkan hati untuk terikat. Lagi-lagi waktu mempercepat laju ombak, menerjang batuan karang yang mulai terkikis hampir habis. Batin ku di peluk gamang setelah jarak membentangkan sayapnya. Aku merengket, ketika pikiranku berorientasi secara masif lalu meneriakkan sesuatu yang rua di dada,

        “Jarak akan membunuh rasa yang ada, rindu akan membias menjadi sesuatu yang sulit di rengkuh, temu akan menjadi suatu persuaan yang kebetulan, dan kamu akan berkonspirasi dengan asumsi.”

        Kalimat itu mungkin saja melebun membuatku menjadi seorang yang tidak konsepsi. Namun berulang kali aku menampik, berulang kali pula ia mencekik. Egoku memuncak memaksamu menginjak tempat yang sedang aku pijak. Tanpa sadar, aku telah berhasil dikalahkan oleh ego.

        Guam yang kian hari kian hebat, tanpa punca, tanpa sekat. Seharusnya, aku engah perihal kamu yang memberi anggai bahwa kita tidak lagi memiliki konsentris. Aku terlalu capai untuk menggapai sesuatu yang kamu anggap pantas untuk dicapai. Perlahan kamu menjadi seorang introver yang mengapikkan ku agar tidak terlihat. Kamu adalah alap-alap yang apas kelewat batas, memaksaku melihat jelas agar mampu melepasmu dengan ikhlas. Sayangnya, kamu terlalu bodoh untuk membuat luka ku semakin membengkak. Tak perlu menjadi seorang pengkhianat. Pergi saja dengan makianmu yang tidak berarti, menghilanglah, dan puaskan hati mu setelah mencaci ku berkali-kali.

        Hingga nanti, jangan lupa kembali bersama penyesalan. Kembali merindu, mengejar hingga kelewat wajar, mengirim voice note berisi puisi atau nyanyian, memberiku dua kata “Selamat Pagi” untuk mengawali hari dan aku akan menjadi acuh tak acuh padamu. Siapa tahu kamu menemukan sakit yang sama.

        Namun bagaimana bisa aku berbuat demikian? Kamu yang ku damba tidak mungkin aku beri duka.

        Aku mafhum, rasa memang bersifat fluktuatif dan korelasi. Namun hari itu, aku merasa semesta membelasah secara konsekutif. Semua menjadi lebur, rincu bagai rinai hujan, pengap bagai racun ancala. Aku masih merasakan rindu, rindu yang terkubur menjadi tabu untuk di tebar. Seharusnya aku jera setelah kamu menabur luka. Aku menyadari seutuhnya, sebagian warasku hilang, tertinggal saat menggilaimu. Menyakitiku tidak membuatku mundur. Sebaiknya kamu belajar lebih, tentang caranya memukul ku setakat lebam.

Mungkin, ini adalah rasa remaja pascayuwana? Atau aku nya saja yang terlalu terlena?

Tak pernah henti aku menitipkan rindu di ujung langit sebelum tidur. Berharap esok-lusa kamu lihat, tak usah di bawa pulang, biarkan saja membentang di ufuk timur. Aku terlalu egois, menginginkan langit malam berantun dengan rindu yang aku sebar. Ku perketat, rindu ku bukan bintang yang menderang ketika malam dan hilang ketika siang menyapa bumi.

Apatah artinya luka jika rasa ini terus meradang. Aku tidak takut meski orang-orang menertawakan aku yang bersikeras mempertahankan apa yang aku yakini. Kamu tahu sendiri, ribuan orang di bumi percaya akan datang seseorang yang entah kapan sebagai seseorang yang tidak lagi salah. Perihal kamu adalah masa depan ku atau bukan. Itu tidak pernah menjadi pertanyaan. Sebab, aku mengamini, seseorang akan tetap melewati melankolis meski telah bersanding dengan orang yang tepat.

[Aprl. 12 Juli; Kepada lelaki yang menghakimi namun tetap ku beri kesempatan untuk mendampingi, maka kembalilah. Pukul 02:15, Sukabumi]

Comments

  1. Keren mb pilihan katanya 😍😍😍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih mba😊

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Nawala Patra

Keras Kepala

Niskala