Pascayuwana
Waktu yang bergulir terus mengusung ku menjadi seseorang yang pandai. Pandai dalam memilih teman, kekasih, dan hal-hal baik ataupun buruk. Aku mafhum, di setiap perjalanan ada banyak persimpangan, krikil, dan lubang. Terkadang aku harus memilih, merasakan tergelincir, dan jatuh tersungkur. Bahkan ketika aspal adalah apa yang telapak ku injak belum tentu aku akan selamat di 1 langkah kedepan. Juga, di rumput ilalang yang sesekali di terpa angin. Ia memiliki misteri, bisa saja sesuatu yang membahayakan bersembunyi, entah sudah di rencanakan atau tidak. Begitu pun puncak, tak selamanya indah. Ia bisa menjelma menjadi sesuatu yang menakutkan termasuk kematian. Ada pun air, tak selalu terasa sejuk dan segar. Terkadang ia meninggi membuat alam raya mengigil. Ia bisa lebih padat dari mobil dan gedung. Dan api tak selalu menghangatkan, ia bisa lebih kejam dari matahari, membakar apa yang kita punya termasuk raga.
Namun usah khawatir ketika semesta sedang tak bersahabat. Ia memang tercipta dari tekateki dan misteri. Aku hanya perlu meneguk takdir dan menelusuri ayat-ayat kitab sebab, Tuhan adalah deras mencintai mu tanpa banyak genangan*. Tak pelik aku berkawan dengan beberapa orang yang mampu menyimpan dua wajah, tiga, bahkan tak terhitung. Mereka di sebut nifak. Tapi, tidak. Aku tidak menamai mereka itu. Mereka di hadirkan agar aku (yang mungkin masih sama seperti mereka) mampu memperbaiki menjadi lebih baik dari mereka. Mereka tetap kawan ku seburuk apapun itu. Aku harus tetap menjaga fadilat maupun fadihat mereka. Di antara sakit yang paling menghunus jantung bukan mereka yang menghampiri ketika sedih lalu pergi ketika bahagia membuat dunianya indah. Tapi, saat aku tidak melakukan hal yang di utarakan namun tetap di tunjuk bahwa aku telah melakukannya. Mereka bukan memfitnah, hanya lupa. Bahwa benar hidup sekumpulan repetisi. Ketika kamu berbuat sesuatu akan ada masanya kamu merasakan meski tidak sekarang. Sepertinya ini yang di sebut dengan karma. Mungkin dahulu aku pernah (tanpa sadar) menuduh seseorang maka di hari ini aku yang merasakan. Aku bertekad tidak menyalahkan siapa-siapa sebab aku mengamini satu hal, Al-insan makanul-khata’ wannisyan**.
Sumpah memang tidak menjamin ucapan kita benar. Bagi ku, sumpah adalah hal yang menakutkan. Meski di jaman sekarang sumpah di anggap hal yang lumrah. Repetisi hidup saja manusia sudah kewalahan apalagi dengan sumpah? Ku bilang, berani bersumpah demi tuhan, agama, dan seisi langit. Tidak mungkin aku berani melontarkan kata demikian jika di dalam hati mengakui aku melakukan? Siapapun boleh malas (bukan bodoh sebab, tak ada yang bodoh di dunia ini) pada matematika namun usah buta pada agama. Aku tak berniat menganggap diri sebagai manusia suci. Setidaknya seburuk apapun sikap seseorang jika ia menasehati mu hal-hal yang baik mengapa harus menghalaunya? Bukankah Abdullah bin Amr menyampaikan bahwa nabi Muhammad bersabda, Balagu anna walawu-ayat?***.
Berkali-kali aku mengeluh pada-Nya ketika hidup terasa luar biasa berat. Tanpa malu dialog ku dengan-Nya seputar manusia yang ku percaya namun tak disangka pandai beringkar. Meski kenyataannya hanya aku yang berbicara panjang lebar tapi aku yakin tuhan adalah pendengar yang baik. Manusia terlalu fokus berhati-hati pada orang baru yang tidak dikenal nyatanya yang lebih membahayakan adalah mereka yang lebih dekat dan lebih mengenal kita. Aku juga bertemu dengan mereka yang datang dan pergi, yang menaruh harap lalu berpura-pura tidak ingat, yang tetap ada namun tak mampu memberi kepastian, yang berjanji namun tak bisa menepati, yang berbicara namun tak sesuai fakta, dan masih banyak lagi.
Aku berjerempak dengan seseorang yang membuat ku bahagia. Mengisi hari ku seolah akulah dunianya. Terlihat tak main-main dan begitu manis untuk di tolak. Ternyata perlakuannya tak hanya untuk ku. Dia tidak menyegam, hanya kebuluran akan otoritas dari banyak hati.
Juga kamu, mantan kekasih, yang masih betah mengendap di sisi gelap ku. Janji mu goyah setelah udara yang kita hirup bukan dari kota yang sama. Kini aku mafhum, ibu kota lebih berarti di banding Sukabumi. Sukabumi adalah rindu, berdebu-debu penuh sejarah. Itu mengapa aku tidak bisa benar-benar mencintai kota lain sebab di sini kenangan kita kekal meski tak terraba. Di sini juga angin menerbangkan janji-janji mereka yang tak terbawa atau sengaja di tinggalkan. Malam ini dingin menembus hingga ke tulang tapi aku tak menggigil sepertinya bayang mu masih memeluk ku.
Kamu tahu, ketika bulu mata ku lepas dari tempatnya. Aku mengambilnya berharap kamu yang rindu, lalu dengan sadar aku membulak-baliknya dari telapak tangan kanan ke kiri begitu seterusnya sampai ia hilang, mungkin jatuh karena angin. Sambil mengeja alfabet.
Bodoh!
Jika benar kamu rindu bukan membuat mata ku terlihat tak indah dengan menjatuhkan bulunya satu persatu tapi, mencari jalan agar kita bertemu.
Sudahlah, memang akunya saja yang lupa diri.
Namun ketika aku merasa tak sanggup menahan rindu. Ada seseorang yang jauh lebih lama berada di samping ku. Aku menganggapnya seorang teman dan tak lebih dari itu. Terkadang sikapnya yang manis meluluhkan ku tanpa dia pedulikan. Namun dia juga bisa lebih kejam dari rindu yang menghujam. Bertatap muka namun tak bersapa. Bertahun lamanya aku tak pernah benar-benar mengenalnya. Aku merasa berarti ketika dia menghubungi. Aku merasa ada ketika dia bercerita. Dan aku merasa dia yang paling bisa di andalkan meski terkadang sulit di cari. Tak sekali rindu ku silih berganti pada mu dan dia. Padahal rasa ini utuh pada mu lalu, mengapa aku masih ingin bertemu dengannya? Sayang, dia hari ini bukanlah dia pada waktu lampau. Namun tetap saja, bahagianya membahagiakan ku.
Bisakah kamu sedikit saja mengerti perasaan ku? Bagaimana rasanya bertahan bukan pada seseorang yang ingin di pertahankan? Bagaimana rasanya mendaduk meminta mu dalam sujud ku namun kamu tak pernah lagi melirik? Kamu kira aku hanya bisa main-main? Kamu kira berjuang sendiri tidak melelahkan? Beberapa pundak bersedia untuk kepala ku, mungkin juga tangis ku. Namun aku tak tega memakai pundak mereka demi menyelesaikan nafsu tabiat. Aku tidak pernah berhenti ketika kamu sebenarnya sudah berhenti pada satu hati.
Lagi-lagi rindu ku menyimpang. Pada seseorang yang masih sama seperti dulu. Dan lagi-lagi aku salah menilai. Dia tak pernah lagi sama. Tatapannya tak lagi berisi. Senyumnya tak lagi terlihat. Hadirnya tak lagi menenangkan. Haruskah aku menjauhinya? Baginya, mungkin, aku sama seperti ruang tunggu bandara. Kemanapun dia pergi dan kembali. Aku tetap ada namun jarang di kunjungi. Aku mengeluh pada tuhan entah yang ke berapa ratus kalinya. Menghadirkan mereka yang tak lagi sama. Aku merasa kehilangan berlipat ganda. Setelah mereka, disusul oleh kerabat. Berjauhan. Farsakh.
Tak sulit bertemu mereka.
Hanya menunggu jadwal hari libur untuk berkumpul.
Namun mereka tak lagi sama. Pekerjaan, jabatan, dan harta menjadi persaingan mereka.
Gelak tawa yang terdengar dahulu takkan lagi sama bunyinya. Cerita yang dahulu menjadi dongeng paling meninabobokan kini terganti dengan bualan untuk mengagung-agungkan diri.
Sudahlah, untuk apa mengenang sendiri? Toh mereka takkan peduli.
Hentikan sesuatu yang menghantam jiwa. Ikhlaskan sesuatu yang sudah berlalu. Manusia boleh istirahat untuk meredakan lelah namun tidak untuk menyerah. Tak semua yang datang dan pergi hanya memberi luka. Sebenarnya merekalah yang membuat hidup berwarna. Bagaimana bisa hidup dikatakan sudah berwarna tanpa adanya hitam? Tanpa aku ketahui, aku pernah membuat orang lain nelangsa. Hanya saja tak pernah ia perlihatkan. Aku mengamini, hidup itu kelabu. Ada di antara hitam dan putih; jelas dan nanar; temaram dan kebam. Sebab, manusia hidup di atas pilihan. Terkadang yang terlihat baik setelah di jalani menjadi buruk.
**Manusia tempatnya salah dan lupa.
*Quotes Theoresia Rumthe.
***Sampaikanlah dari ku walau hanya satu ayat.
Namun usah khawatir ketika semesta sedang tak bersahabat. Ia memang tercipta dari tekateki dan misteri. Aku hanya perlu meneguk takdir dan menelusuri ayat-ayat kitab sebab, Tuhan adalah deras mencintai mu tanpa banyak genangan*. Tak pelik aku berkawan dengan beberapa orang yang mampu menyimpan dua wajah, tiga, bahkan tak terhitung. Mereka di sebut nifak. Tapi, tidak. Aku tidak menamai mereka itu. Mereka di hadirkan agar aku (yang mungkin masih sama seperti mereka) mampu memperbaiki menjadi lebih baik dari mereka. Mereka tetap kawan ku seburuk apapun itu. Aku harus tetap menjaga fadilat maupun fadihat mereka. Di antara sakit yang paling menghunus jantung bukan mereka yang menghampiri ketika sedih lalu pergi ketika bahagia membuat dunianya indah. Tapi, saat aku tidak melakukan hal yang di utarakan namun tetap di tunjuk bahwa aku telah melakukannya. Mereka bukan memfitnah, hanya lupa. Bahwa benar hidup sekumpulan repetisi. Ketika kamu berbuat sesuatu akan ada masanya kamu merasakan meski tidak sekarang. Sepertinya ini yang di sebut dengan karma. Mungkin dahulu aku pernah (tanpa sadar) menuduh seseorang maka di hari ini aku yang merasakan. Aku bertekad tidak menyalahkan siapa-siapa sebab aku mengamini satu hal, Al-insan makanul-khata’ wannisyan**.
Sumpah memang tidak menjamin ucapan kita benar. Bagi ku, sumpah adalah hal yang menakutkan. Meski di jaman sekarang sumpah di anggap hal yang lumrah. Repetisi hidup saja manusia sudah kewalahan apalagi dengan sumpah? Ku bilang, berani bersumpah demi tuhan, agama, dan seisi langit. Tidak mungkin aku berani melontarkan kata demikian jika di dalam hati mengakui aku melakukan? Siapapun boleh malas (bukan bodoh sebab, tak ada yang bodoh di dunia ini) pada matematika namun usah buta pada agama. Aku tak berniat menganggap diri sebagai manusia suci. Setidaknya seburuk apapun sikap seseorang jika ia menasehati mu hal-hal yang baik mengapa harus menghalaunya? Bukankah Abdullah bin Amr menyampaikan bahwa nabi Muhammad bersabda, Balagu anna walawu-ayat?***.
Berkali-kali aku mengeluh pada-Nya ketika hidup terasa luar biasa berat. Tanpa malu dialog ku dengan-Nya seputar manusia yang ku percaya namun tak disangka pandai beringkar. Meski kenyataannya hanya aku yang berbicara panjang lebar tapi aku yakin tuhan adalah pendengar yang baik. Manusia terlalu fokus berhati-hati pada orang baru yang tidak dikenal nyatanya yang lebih membahayakan adalah mereka yang lebih dekat dan lebih mengenal kita. Aku juga bertemu dengan mereka yang datang dan pergi, yang menaruh harap lalu berpura-pura tidak ingat, yang tetap ada namun tak mampu memberi kepastian, yang berjanji namun tak bisa menepati, yang berbicara namun tak sesuai fakta, dan masih banyak lagi.
Aku berjerempak dengan seseorang yang membuat ku bahagia. Mengisi hari ku seolah akulah dunianya. Terlihat tak main-main dan begitu manis untuk di tolak. Ternyata perlakuannya tak hanya untuk ku. Dia tidak menyegam, hanya kebuluran akan otoritas dari banyak hati.
Juga kamu, mantan kekasih, yang masih betah mengendap di sisi gelap ku. Janji mu goyah setelah udara yang kita hirup bukan dari kota yang sama. Kini aku mafhum, ibu kota lebih berarti di banding Sukabumi. Sukabumi adalah rindu, berdebu-debu penuh sejarah. Itu mengapa aku tidak bisa benar-benar mencintai kota lain sebab di sini kenangan kita kekal meski tak terraba. Di sini juga angin menerbangkan janji-janji mereka yang tak terbawa atau sengaja di tinggalkan. Malam ini dingin menembus hingga ke tulang tapi aku tak menggigil sepertinya bayang mu masih memeluk ku.
Kamu tahu, ketika bulu mata ku lepas dari tempatnya. Aku mengambilnya berharap kamu yang rindu, lalu dengan sadar aku membulak-baliknya dari telapak tangan kanan ke kiri begitu seterusnya sampai ia hilang, mungkin jatuh karena angin. Sambil mengeja alfabet.
Bodoh!
Jika benar kamu rindu bukan membuat mata ku terlihat tak indah dengan menjatuhkan bulunya satu persatu tapi, mencari jalan agar kita bertemu.
Sudahlah, memang akunya saja yang lupa diri.
Namun ketika aku merasa tak sanggup menahan rindu. Ada seseorang yang jauh lebih lama berada di samping ku. Aku menganggapnya seorang teman dan tak lebih dari itu. Terkadang sikapnya yang manis meluluhkan ku tanpa dia pedulikan. Namun dia juga bisa lebih kejam dari rindu yang menghujam. Bertatap muka namun tak bersapa. Bertahun lamanya aku tak pernah benar-benar mengenalnya. Aku merasa berarti ketika dia menghubungi. Aku merasa ada ketika dia bercerita. Dan aku merasa dia yang paling bisa di andalkan meski terkadang sulit di cari. Tak sekali rindu ku silih berganti pada mu dan dia. Padahal rasa ini utuh pada mu lalu, mengapa aku masih ingin bertemu dengannya? Sayang, dia hari ini bukanlah dia pada waktu lampau. Namun tetap saja, bahagianya membahagiakan ku.
Bisakah kamu sedikit saja mengerti perasaan ku? Bagaimana rasanya bertahan bukan pada seseorang yang ingin di pertahankan? Bagaimana rasanya mendaduk meminta mu dalam sujud ku namun kamu tak pernah lagi melirik? Kamu kira aku hanya bisa main-main? Kamu kira berjuang sendiri tidak melelahkan? Beberapa pundak bersedia untuk kepala ku, mungkin juga tangis ku. Namun aku tak tega memakai pundak mereka demi menyelesaikan nafsu tabiat. Aku tidak pernah berhenti ketika kamu sebenarnya sudah berhenti pada satu hati.
Lagi-lagi rindu ku menyimpang. Pada seseorang yang masih sama seperti dulu. Dan lagi-lagi aku salah menilai. Dia tak pernah lagi sama. Tatapannya tak lagi berisi. Senyumnya tak lagi terlihat. Hadirnya tak lagi menenangkan. Haruskah aku menjauhinya? Baginya, mungkin, aku sama seperti ruang tunggu bandara. Kemanapun dia pergi dan kembali. Aku tetap ada namun jarang di kunjungi. Aku mengeluh pada tuhan entah yang ke berapa ratus kalinya. Menghadirkan mereka yang tak lagi sama. Aku merasa kehilangan berlipat ganda. Setelah mereka, disusul oleh kerabat. Berjauhan. Farsakh.
Tak sulit bertemu mereka.
Hanya menunggu jadwal hari libur untuk berkumpul.
Namun mereka tak lagi sama. Pekerjaan, jabatan, dan harta menjadi persaingan mereka.
Gelak tawa yang terdengar dahulu takkan lagi sama bunyinya. Cerita yang dahulu menjadi dongeng paling meninabobokan kini terganti dengan bualan untuk mengagung-agungkan diri.
Sudahlah, untuk apa mengenang sendiri? Toh mereka takkan peduli.
Hentikan sesuatu yang menghantam jiwa. Ikhlaskan sesuatu yang sudah berlalu. Manusia boleh istirahat untuk meredakan lelah namun tidak untuk menyerah. Tak semua yang datang dan pergi hanya memberi luka. Sebenarnya merekalah yang membuat hidup berwarna. Bagaimana bisa hidup dikatakan sudah berwarna tanpa adanya hitam? Tanpa aku ketahui, aku pernah membuat orang lain nelangsa. Hanya saja tak pernah ia perlihatkan. Aku mengamini, hidup itu kelabu. Ada di antara hitam dan putih; jelas dan nanar; temaram dan kebam. Sebab, manusia hidup di atas pilihan. Terkadang yang terlihat baik setelah di jalani menjadi buruk.
**Manusia tempatnya salah dan lupa.
*Quotes Theoresia Rumthe.
***Sampaikanlah dari ku walau hanya satu ayat.
Comments
Post a Comment