Terserah
Bukan begitu cara menyelesaikan masalah. Di panjangnya kalimat yang ku kirim, kamu jawab terserah. Semua itu tidak membuat masalah teratasi dengan mudah. Berkali-kali kamu bilang sudah, tapi ternyata susah. Perdebatan tetap ku lanjut hingga kamu sadar bahwa relasi kita sedang tidak baik-baik saja. Kamu paham caranya mengasihi, aku paham caranya mengerti. Namun, itu semua bisa berhenti, jika kita tak memberi ruang satu sama lain; untuk sekedar memahami apa yang seharusnya terjadi.
Tak terasa hari jadi sudah berkali-kali kita lewati. Dalam pesan yang kamu kirim masih selalu terselip kalimat, jangan terlalu sering berantem; padahal adu mulut tidak akan terulang jika kita sama-sama merekonstruksi relasi yang dulu tidak seperti ini. Hancur oleh masa, direnggut oleh waktu, dan nampaknya kini tak lagi berarti. Ku kira, diusia kita yang bukan lagi remaja menjadi tolak ukur suatu hubungan; takkan bertemu dengan pertikaian, takkan ada lagi kontradiksi. Nyatanya, perkiraan ku hanya delusi.
Baik, aku akan menjauh. Sebab, jenaka tak lagi mengelilingi. Padam oleh amarah yang meletup-letup. Di hapus oleh nada bicara mu yang tinggi. Namun, tangan mu memegang erat, menahan langkah ku. Padahal aku merelakan mu yang sebenarnya tak rela aku tinggalkan.
Maaf aku menganggap apa yang aku bangun selalu porak poranda. Di belantara kota yang kian padat, aku menjadi sepi; disayat kenyataan, terbelenggu sendiri, tak mampu menampik. Lalu kemana mimpi-mimpi yang menjadi angan kita berdua? Pesan teks berisi masa depan yang memesona; Gemerlap bagai bintang kejora. Jemala dikuasai amarah. Saling tuduh tak mau bersalah. Aku berasumsi, renjana hanya omong kosong dan rencana hanya ilustrasi dari sekian banyaknya imaji.
Lelah memang. Namun, setiap kali aku ingin menyerah. Kamu tak pernah mengiyakannya.
[278, Sukabumi; Sepulang bekerja naik tayo]
Comments
Post a Comment